Jumat, 05 September 2014

Sebening Cintamu, Ayah



Semburat senja masih setia menyinari bumi yang basah karena hujan tadi siang, sinarnya menembus jendela tua yang buram terkena asap kendaraan yang setiap hari lewat di depan sebuah rumah tua yang bercorak bangunan Belanda, bangunannya masih asli tak ada yang berbeda jauh dari dulu. Di balik jendela tua itu duduk seorang lelaki paruh baya, rambutnya sudah memutih dan di wajahnya terdapat guratan keriput, matanya sayu menatap langit yang sebentar lagi gelap.
Lelaki tua itu duduk sendiri di atas kursi roda, ia tengah merenungi perjalanan hidupnya selama ini. Dahulu hidupnya bahagia bersama istri dan kelima anaknya, namun hidupnya kini terasa sepi setelah kepergian istri tercinta 2 tahun yang lalu. Kesedihannya bertambah saat satu persatu anak-anaknya meninggalkan dirinya yang tua renta. Empat orang anaknya tinggal bersama keluarga masing-masing di luar kota, kini ia hanya tinggal bersama bungsunya dan menantunya yang sudah dua tahun berumah tangga belum dikaruniai buah hati.
                “Assalaamu’alaikum. Ayah, kenapa melamun di depan jendela. Maaf ya Bening dan Mas Iqbal pulang sore, tadi macet di jalan ada banjir setelah hujan tadi siang. Yuk kita makan dulu, Bening beli makanan kesukaan ayah,” Bening menantu yang baik hati itu mendorong kursi roda mertuanya ke dapur.
Gadis berjilbab ini sangat baik pada mertuanya, Bening sejak sekolah menengah pertama memang sudah menjadi yatim piatu, setelah lulus kuliah dia dinikahi oleh lelaki sholeh yang baik perangainya, dialah Iqbal. Dahulu Iqbal amat baik pada keluarga, namun sejak kakak-kakaknya meninggalkan ia sendiri hidup dengan ayahnya, sifatnya berubah. Ditambah lagi dengan sakit ayahnya yang tak kunjung sembuh dan semakin parah dari hari ke hari.
                “Mas, ayo keluar, kita makan dulu, ayah sudah menunggu di ruang makan,” ucap Bening pada suaminya.
                “Nanti saja mas makannya, malas sekali makan dengan ayah yang kalau makan berantakan kemana-mana. Apalagi selera makan mas jadi hilang kalau melihat ayah muntah-muntah di meja makan. Sudahlah, kamu makan saja duluan dengan ayah,” ucap Iqbal.
                Mendengar ucapan suaminya, Bening pun mendekati sambil mengelus punggung tangan suaminya.
                “Ayah kan sedang sakit, gagal ginjal yang dideritanya membuat ayah semakin menderita menahan semua sakit yang dideritanya. Sebagai anak kita justru harus membesarkan hatinya, kalau bukan kita siapa lagi mas?” Bening menenangkan.
                “Aku sudah capek mengurus ayah yang sakit tak kunjung sembuh. Aku sudah berkorban semuanya, biaya ,tenaga, waktu, setiap minggu harus mengantar ayah cuci darah, tapi mana kakak-kakakku yang lain? Mereka seakan tak peduli dengan keadaan ayah, aku sudah tak sanggup lagi dengan semua keadaan ini!” teriakan Iqbal terdengar hingga ke dapur, ayahnya hanya termenung menatap semua makanan yang ada di hadapannya.
                “Suamiku sayang, keadaan yang terjadi bukanlah untuk disalahkan. Semua sudah tertulis di lauhul mafudz, jangan mudah menyalahkan orang lain, justru kita harus menjadi orang pertama yang berbuat kebaikan. Kalau kata ustadzah Hasna bilang ibda binafsi mas, mulailah dari diri sendiri, Allah Maha tahu dan Allah akan membalas semua amal kita selama di dunia,” nasihat Bening.
                “Sudahlah kamu jangan ceramah di depanku, mas ingin sendiri sekarang,” Bening pun keluar kamar dengan mata yang berkaca-kaca.
                Di ruang makan sang ayah tertunduk, menahan buliran air mata yang sedari tadi sudah membendung di kelopak matanya.
                “Ayah, maafkan mas Iqbal ya. Dia begitu mungkin karena kecapean mengurusi pekerjaannya di kantor,”
                “Tidak apa-apa, semua ini mungkin karena ayah,”
                “Bukan ayah, tak ada yang salah dengan keadaan ini. Hasna yakin suatu saat nanti Mas Iqbal pasti akan kembali dengan sifatnya yang dahulu, baik, perhatian, penyayang, Bening yakin itu,”
                “Subhanalloh, Bening kamu adalah istri sholihah, Iqbal harusnya bersyukur memiliki istri yang baik seperti kamu. Sekarang kita tinggal berdo’a dan pasrahkan segalanya pada Allah,” ucap ayah yang perlahan menghapus butiran air mata dari wajahnya yang berkeriput.
                Disaat sepertigaan malam tiba, Bening tengah bersujud di atas sajadah kepasrahan. Air matanya membasahi sajadah, dia mengadukan semua kegelisahan hatinya.
                “Duhai penggenggam setiap jiwa, inilah aku yang hina berlumur dosa, ampunilah segala kesalahanku, ampuni dosa kedua orangtuaku. Hanya Engkau pengampun dosa, hanya Engkau pulalah pengabul setiap do’a. Duhai Rabbku, aku selalu berbaik sangka kepadaMu, hingga saat ini aku belum dikaruniai anak, mungkin karena Engkau belum percaya kepadaku untuk mengemban amanah itu. Namun Ya Allah, telah lama aku merindukan hadirnya buah hati pelengkap kebahagiaan dalam keluargaku. Aku memohon yang terbaik dari-Mu, aku berjanji jika Engkau menitipkan janin dalam kandunganku, aku akan merawatnya dengan baik, akan kuajari ia kelak untuk selalu mengabdi kepada-Mu, mencintaimu sepenuhnya.
Duhai yang Maha Membolak-balikkan hati, anugerahkanlah hidayah pada suami hamba. Andai hatinya kotor, maka bersihkanlah. Andai hatinya rusak maka gantilah dengan hati yang baru. Terangilah jalannya, hamba mohon kabulkan ya Rohman, kabulkanlah ya Rohiim… Amiin…”
Usai berdo’a tiba-tiba Bening mendengar suaminya berteriak.
“Jangan pergi Ayah…! Ayah…!”
Bening mendekati suaminya yang baru terbangun dari mimpinya.
“Istighfar Mas, barusan Mas bermimpi..” ucap Bening sambil mengelus punggung suaminya.
“Astaghfirulloh.. Tadi aku bermimpi ayah diajak pergi oleh seorang lelaki berpakaian serba putih. Saat itu ku lihat wajah ayah teramat damai. Mana ayah sekarang? Bagaimana kondisinya?” cerita Iqbal yang segera bangkit namun ditahan oleh istrinya.
“Tenanglah duhai suamiku. Tidak terjadi apa-apa dengan ayah. Ayah sekarang sedang tidur di kamarnya, sekarang baiknya Mas ambil wudlu dulu lalu shalat malam agar hati mas tenang,” ajak Bening.
Usai melaksanakan shalat malam, Bening dan Iqbal bercengkerama di atas sajadahnya masing-masing.
“Istriku, kenapa aku bisa bermimpi seperti itu ya? Padahal aku benci pada ayah yang sakit-sakitan. Namun di lubuk hatiku yang terdalam aku sungguh takut jika harus ditinggal pergi oleh ayah,” cerita Iqbal.
“Suamiku sayang, seburuk apapun beliau tetaplah ayah mas, orang tua kita. Coba mas renungkan pengorbanannya selama ini yang telah membesarkan dan mendidik kita, sungguh pengorbanannya tak akan pernah bisa diganti oleh apapun,”
“Kau benar sayang, mas masih ingat dulu waktu kecil, ketika SD semua siswa diwajibkan membawa seruling, sedangkan mas ke sekolah dengan wajah murung karena ayah tidak punya uang untuk membelinya. Tapi saat istirahat tiba ayah datang ke sekolah dengan membawa seruling baru, padahal mas tahu harga seruling mahal, tapi demi melihat anaknya bahagia apapun dilakukannya. Kemudian saat acara Pramuka harus naik sepeda ke bukit, dan rantai sepeda mas putus, lalu ayahlah yang membetulkanya sendiri sehingga mas bisa ikut acara Pramuka bersama teman-teman,” cerita Iqbal sambil matanya berkaca-kaca.
“Iya mas, sekarang selagi Allah masih memberi kita kesempatan untuk merawat ayah, kita bahagiakan ayah sebagaimana mereka membahagiakan kita saat kecil dahulu,” ucap Bening sambil mengusap buliran air mata yang jatuh membasahi pipi suaminya.
“Insya Allah sayang, do’akan selalu mas ya..”
Keesokan paginya pasangan suami istri itu tengah bersiap di ruang makan.
“Sayang, kok ayah belum ke sini ya?”
“Mungkin ayah masih tidur, nanti Bening bangunkan ayah dulu ya mas.” Bening mengetuk pintu kamar ayah, namun tak ada jawaban dari dalam. Ia pun membuka pintu kamar dan menemukan ayah masih tertidur di atas tempat tidurnya.
“Ayah bangun, kita sarapan dulu yuk! Ayah…” Bening mencoba membangunkan ayah namun tak juga bangun. Saat Bening menyentuh tangan ayah, sekujur tubuh ayah dirasanya dingin.
“Mas, mas, cepat kemari, ayah tidak mau bangun dan tubuhnya dingin!” Iqbal pun masuk kamar dan mendapati ayahnya yang pucat lalu segera melarikannya ke rumah sakit.
Tak lama di rumah sakit, keempat kakaknya pun datang setelah ditelpon oleh Bening. Mereka semua harap-harap cemas menunggu dokter yang memeriksa keadaan ayah.
Setelah lama menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruangan dan mengabarkan kondisi ayah.
“Saya sudah berusaha namun Allah-lah yang berkehendak, ayah anda telah dipanggil Allah,” tangisan pun pecah menyelimuti lorong rumah sakit, kelima kakak beradik itu menangis terutama Iqbal yang menyesali atas tingkah lakunya selama ini pada ayahnya.
“Innalillaahi wainna ilaihi roji’un… Ayah, maafkan anakmu tak sempat membahagiakanmu, semoga Allah menempatkanmu di Syurga-Nya..” do’anya dalam hati.
Setelah kepergian ayahnya, Iqbal merasa sepi dan hari-harinya terasa hampa. Disaat keterpurukannya, Bening menghampiri sambil mengusap lembut punggung suaminya.
“Mas, jangan bersedih, ingatlah bahwa Allah selalu bersama kita. Oya, aku membawa kabar gembira untukmu,” Iqbal melirik istrinya yang sedang tersipu. Rona merah di pipi istrinya membuat wajah istrinya semakin cantik, dan keceriaan istrinya itulah yang selalu membuat Iqbal bahagia.
Bening berbisik di telinga suaminya, “Alhamdulillaah aku hamil mas,” mendengar kabar gembira itu, Iqbal langsung tersungkur sujud, butiran bening air mata menetes membasahi pipinya.
“Alhamdulillaah… Allohu Akbar… Terima Kasih Ya Allah Ya Rohman.. Engkau telah mengabulkan kerinduan hamba selama ini untuk memiliki keturunan. Aku berjanji akan menjaga dengan baik amanah yang Kau berikan… Terima kasih Ya Allah…”
Setelah itu hari-hari mereka selalu diliputi dengan kesyukuran, meski ujian kan pasti datang menghiasi bahtera rumah tangga mereka, namun mereka yakin di balik semua kesulitan pasti ada kemudahan, dibalik air mata pasti ada bahagia.

(Cilegon, 8 Agustus 2014) _ Desti Marwah Syahidah ^^