Semburat senja masih setia
menyinari bumi yang basah karena hujan tadi siang, sinarnya menembus jendela
tua yang buram terkena asap kendaraan yang setiap hari lewat di depan sebuah
rumah tua yang bercorak bangunan Belanda, bangunannya masih asli tak ada yang
berbeda jauh dari dulu. Di balik jendela tua itu duduk seorang lelaki paruh
baya, rambutnya sudah memutih dan di wajahnya terdapat guratan keriput, matanya
sayu menatap langit yang sebentar lagi gelap.
Lelaki tua itu
duduk sendiri di atas kursi roda, ia tengah merenungi perjalanan hidupnya
selama ini. Dahulu hidupnya bahagia bersama istri dan kelima anaknya, namun
hidupnya kini terasa sepi setelah kepergian istri tercinta 2 tahun yang lalu.
Kesedihannya bertambah saat satu persatu anak-anaknya meninggalkan dirinya yang
tua renta. Empat orang anaknya tinggal bersama keluarga masing-masing di luar
kota, kini ia hanya tinggal bersama bungsunya dan menantunya yang sudah dua
tahun berumah tangga belum dikaruniai buah hati.
“Assalaamu’alaikum.
Ayah, kenapa melamun di depan jendela. Maaf ya Bening dan Mas Iqbal pulang
sore, tadi macet di jalan ada banjir setelah hujan tadi siang. Yuk kita makan
dulu, Bening beli makanan kesukaan ayah,” Bening menantu yang baik hati itu
mendorong kursi roda mertuanya ke dapur.
Gadis berjilbab
ini sangat baik pada mertuanya, Bening sejak sekolah menengah pertama memang
sudah menjadi yatim piatu, setelah lulus kuliah dia dinikahi oleh lelaki sholeh
yang baik perangainya, dialah Iqbal. Dahulu Iqbal amat baik pada keluarga,
namun sejak kakak-kakaknya meninggalkan ia sendiri hidup dengan ayahnya,
sifatnya berubah. Ditambah lagi dengan sakit ayahnya yang tak kunjung sembuh
dan semakin parah dari hari ke hari.
“Mas,
ayo keluar, kita makan dulu, ayah sudah menunggu di ruang makan,” ucap Bening
pada suaminya.
“Nanti
saja mas makannya, malas sekali makan dengan ayah yang kalau makan berantakan
kemana-mana. Apalagi selera makan mas jadi hilang kalau melihat ayah
muntah-muntah di meja makan. Sudahlah, kamu makan saja duluan dengan ayah,”
ucap Iqbal.
Mendengar
ucapan suaminya, Bening pun mendekati sambil mengelus punggung tangan suaminya.
“Ayah
kan sedang sakit, gagal ginjal yang dideritanya membuat ayah semakin menderita
menahan semua sakit yang dideritanya. Sebagai anak kita justru harus
membesarkan hatinya, kalau bukan kita siapa lagi mas?” Bening menenangkan.
“Aku
sudah capek mengurus ayah yang sakit tak kunjung sembuh. Aku sudah berkorban
semuanya, biaya ,tenaga, waktu, setiap minggu harus mengantar ayah cuci darah,
tapi mana kakak-kakakku yang lain? Mereka seakan tak peduli dengan keadaan
ayah, aku sudah tak sanggup lagi dengan semua keadaan ini!” teriakan Iqbal
terdengar hingga ke dapur, ayahnya hanya termenung menatap semua makanan yang
ada di hadapannya.
“Suamiku
sayang, keadaan yang terjadi bukanlah untuk disalahkan. Semua sudah tertulis di
lauhul mafudz, jangan mudah menyalahkan orang lain, justru kita harus menjadi
orang pertama yang berbuat kebaikan. Kalau kata ustadzah Hasna bilang ibda binafsi mas, mulailah dari diri
sendiri, Allah Maha tahu dan Allah akan membalas semua amal kita selama di
dunia,” nasihat Bening.
“Sudahlah
kamu jangan ceramah di depanku, mas ingin sendiri sekarang,” Bening pun keluar
kamar dengan mata yang berkaca-kaca.
Di
ruang makan sang ayah tertunduk, menahan buliran air mata yang sedari tadi
sudah membendung di kelopak matanya.
“Ayah,
maafkan mas Iqbal ya. Dia begitu mungkin karena kecapean mengurusi pekerjaannya
di kantor,”
“Tidak
apa-apa, semua ini mungkin karena ayah,”
“Bukan
ayah, tak ada yang salah dengan keadaan ini. Hasna yakin suatu saat nanti Mas
Iqbal pasti akan kembali dengan sifatnya yang dahulu, baik, perhatian,
penyayang, Bening yakin itu,”
“Subhanalloh,
Bening kamu adalah istri sholihah, Iqbal harusnya bersyukur memiliki istri yang
baik seperti kamu. Sekarang kita tinggal berdo’a dan pasrahkan segalanya pada
Allah,” ucap ayah yang perlahan menghapus butiran air mata dari wajahnya yang
berkeriput.
Disaat
sepertigaan malam tiba, Bening tengah bersujud di atas sajadah kepasrahan. Air
matanya membasahi sajadah, dia mengadukan semua kegelisahan hatinya.
“Duhai
penggenggam setiap jiwa, inilah aku yang hina berlumur dosa, ampunilah segala
kesalahanku, ampuni dosa kedua orangtuaku. Hanya Engkau pengampun dosa, hanya
Engkau pulalah pengabul setiap do’a. Duhai Rabbku, aku selalu berbaik sangka
kepadaMu, hingga saat ini aku belum dikaruniai anak, mungkin karena Engkau
belum percaya kepadaku untuk mengemban amanah itu. Namun Ya Allah, telah lama
aku merindukan hadirnya buah hati pelengkap kebahagiaan dalam keluargaku. Aku
memohon yang terbaik dari-Mu, aku berjanji jika Engkau menitipkan janin dalam
kandunganku, aku akan merawatnya dengan baik, akan kuajari ia kelak untuk
selalu mengabdi kepada-Mu, mencintaimu sepenuhnya.
Duhai yang Maha
Membolak-balikkan hati, anugerahkanlah hidayah pada suami hamba. Andai hatinya
kotor, maka bersihkanlah. Andai hatinya rusak maka gantilah dengan hati yang
baru. Terangilah jalannya, hamba mohon kabulkan ya Rohman, kabulkanlah ya
Rohiim… Amiin…”
Usai berdo’a
tiba-tiba Bening mendengar suaminya berteriak.
“Jangan pergi
Ayah…! Ayah…!”
Bening mendekati
suaminya yang baru terbangun dari mimpinya.
“Istighfar Mas,
barusan Mas bermimpi..” ucap Bening sambil mengelus punggung suaminya.
“Astaghfirulloh..
Tadi aku bermimpi ayah diajak pergi oleh seorang lelaki berpakaian serba putih.
Saat itu ku lihat wajah ayah teramat damai. Mana ayah sekarang? Bagaimana
kondisinya?” cerita Iqbal yang segera bangkit namun ditahan oleh istrinya.
“Tenanglah duhai
suamiku. Tidak terjadi apa-apa dengan ayah. Ayah sekarang sedang tidur di
kamarnya, sekarang baiknya Mas ambil wudlu dulu lalu shalat malam agar hati mas
tenang,” ajak Bening.
Usai melaksanakan
shalat malam, Bening dan Iqbal bercengkerama di atas sajadahnya masing-masing.
“Istriku, kenapa
aku bisa bermimpi seperti itu ya? Padahal aku benci pada ayah yang
sakit-sakitan. Namun di lubuk hatiku yang terdalam aku sungguh takut jika harus
ditinggal pergi oleh ayah,” cerita Iqbal.
“Suamiku sayang,
seburuk apapun beliau tetaplah ayah mas, orang tua kita. Coba mas renungkan
pengorbanannya selama ini yang telah membesarkan dan mendidik kita, sungguh pengorbanannya
tak akan pernah bisa diganti oleh apapun,”
“Kau benar
sayang, mas masih ingat dulu waktu kecil, ketika SD semua siswa diwajibkan
membawa seruling, sedangkan mas ke sekolah dengan wajah murung karena ayah
tidak punya uang untuk membelinya. Tapi saat istirahat tiba ayah datang ke
sekolah dengan membawa seruling baru, padahal mas tahu harga seruling mahal, tapi
demi melihat anaknya bahagia apapun dilakukannya. Kemudian saat acara Pramuka
harus naik sepeda ke bukit, dan rantai sepeda mas putus, lalu ayahlah yang
membetulkanya sendiri sehingga mas bisa ikut acara Pramuka bersama
teman-teman,” cerita Iqbal sambil matanya berkaca-kaca.
“Iya mas,
sekarang selagi Allah masih memberi kita kesempatan untuk merawat ayah, kita
bahagiakan ayah sebagaimana mereka membahagiakan kita saat kecil dahulu,” ucap
Bening sambil mengusap buliran air mata yang jatuh membasahi pipi suaminya.
“Insya Allah
sayang, do’akan selalu mas ya..”
Keesokan paginya
pasangan suami istri itu tengah bersiap di ruang makan.
“Sayang, kok
ayah belum ke sini ya?”
“Mungkin ayah
masih tidur, nanti Bening bangunkan ayah dulu ya mas.” Bening mengetuk pintu kamar
ayah, namun tak ada jawaban dari dalam. Ia pun membuka pintu kamar dan
menemukan ayah masih tertidur di atas tempat tidurnya.
“Ayah bangun,
kita sarapan dulu yuk! Ayah…” Bening mencoba membangunkan ayah namun tak juga
bangun. Saat Bening menyentuh tangan ayah, sekujur tubuh ayah dirasanya dingin.
“Mas, mas, cepat
kemari, ayah tidak mau bangun dan tubuhnya dingin!” Iqbal pun masuk kamar dan
mendapati ayahnya yang pucat lalu segera melarikannya ke rumah sakit.
Tak lama di
rumah sakit, keempat kakaknya pun datang setelah ditelpon oleh Bening. Mereka
semua harap-harap cemas menunggu dokter yang memeriksa keadaan ayah.
Setelah lama
menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruangan dan mengabarkan kondisi ayah.
“Saya sudah
berusaha namun Allah-lah yang berkehendak, ayah anda telah dipanggil Allah,”
tangisan pun pecah menyelimuti lorong rumah sakit, kelima kakak beradik itu
menangis terutama Iqbal yang menyesali atas tingkah lakunya selama ini pada
ayahnya.
“Innalillaahi
wainna ilaihi roji’un… Ayah, maafkan anakmu tak sempat membahagiakanmu, semoga
Allah menempatkanmu di Syurga-Nya..” do’anya dalam hati.
Setelah
kepergian ayahnya, Iqbal merasa sepi dan hari-harinya terasa hampa. Disaat
keterpurukannya, Bening menghampiri sambil mengusap lembut punggung suaminya.
“Mas, jangan
bersedih, ingatlah bahwa Allah selalu bersama kita. Oya, aku membawa kabar
gembira untukmu,” Iqbal melirik istrinya yang sedang tersipu. Rona merah di
pipi istrinya membuat wajah istrinya semakin cantik, dan keceriaan istrinya
itulah yang selalu membuat Iqbal bahagia.
Bening berbisik
di telinga suaminya, “Alhamdulillaah aku hamil mas,” mendengar kabar gembira
itu, Iqbal langsung tersungkur sujud, butiran bening air mata menetes membasahi
pipinya.
“Alhamdulillaah…
Allohu Akbar… Terima Kasih Ya Allah Ya Rohman.. Engkau telah mengabulkan
kerinduan hamba selama ini untuk memiliki keturunan. Aku berjanji akan menjaga dengan
baik amanah yang Kau berikan… Terima kasih Ya Allah…”
Setelah itu
hari-hari mereka selalu diliputi dengan kesyukuran, meski ujian kan pasti
datang menghiasi bahtera rumah tangga mereka, namun mereka yakin di balik semua
kesulitan pasti ada kemudahan, dibalik air mata pasti ada bahagia.
(Cilegon, 8
Agustus 2014) _ Desti Marwah Syahidah ^^